Meraih Berkah dengan Mawaris
Peta Konsep
A. Menganalisis dan Mengevaluasi Ketentuan Waris dalam islam
Mawaris merupakan serangkain kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup.
Untuk terwujudnya kewarisan harus
ada 3 unsur :
1. Orang meninggal, yang disebut sebagai pewaris atau yang mewariskan
2. Harta milik orang yang meninggal atau orang yang meningal
memiliki harta waris
3. Satu atau beberapa orang yang hidup sebagai keluarga dari orang
yang meninggal (ahli waris)
Secara bahasa, warisan dalam
bahasa arab disebut al-mirâts
yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari
satu kaum kepada kaum lain.
Adapun secara istilah, warisan
adalah berpindahnya hak kemepilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.
Ilmu mawaris biasa disebut dengan
ilmu farâ’idh,
yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan harta
warisan, yang mencakup masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan,
bagian masing-masing dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal yang
berkaitan dengan ketiga masalah tersebut.
B. Dasar Hukum Waris
1. Al-Qur’an
Banyak ayat Al-Qur’an yang
menjelaskan ketentuan pembagian harta warisan, diantaranya Q.S An-Nisa [4] : 7
:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan
Ayat lain yang tentang mawaris terdapat di ayat
lain, diantaranya Q.S An-Nisa [4] : 12 dan 176, Q.S An-Nahl [16] : 75, dan Q.S
Al-Ahzab [33] : 4
2.
As-Sunnah
a. Hadits dari
Ibnu Mas’ud
تَعَلَّمُوا الْقُرْآنَ وَعَلِّمُوهُ النَّاسَ وَتَعَلَّمُوا
الْفَرَائِضَ وَعَلِّمُوهَا النَّاسَ وَتَعَلَّمُوا الْعِلْمَ وَعَلِّمُوهُ
النَّاسَ فَإِنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوضٌ وَإِنَّ الْعِلْمَ سَيُقْبَضُ وَتَظْهَرُ
الْفِتَنُ حَتَّى يَخْتَلِفَ الاِثْنَانِ فِى الْفَرِيضَةِ لاَ يَجِدَانِ مَنْ
يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا
“Pelajarilah al-Qur‘an dan ajarkanlah ia
kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Dan
pelajarilah ilmu dan ajarkanlah kepada manusia, Maka sesungguhnya aku ini
manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat dan akan bermunculan fitnah
sampai hampir saja nanti akan terjadi dua orang yang berselisih tentang pembagian
harta warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang
yang memberitahukan pemecahan masalahnya kepada mereka”. (HR.
Ad-Daaruquthni).
b. Hadits dari
Abdullah bin ‘Amr
الْعِلْمُ ثَلاَثَةٌ وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ
فَضْلٌ آيَةٌ مُحْكَمَةٌ أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ أَوْ فَرِيضَةٌ عَادِلَةٌ
“Ilmu itu ada tiga macam dan selain yang tiga macam itu
sebagai tambahan saja, : ayat muhkamat, sunnah yang tegak dan farâ’idh yang adil “ (H.R Abu Daud)
Berdasarkan kedua hadits di atas, maka mempelajari
ilmu farâ’idh adalah fardhu
kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian
mereka yang mempelajari ilmu farâ’idh dengan sebaga kesungguhan.
3.
Posisi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia
Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk
kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur
tentang pengertian pewaris, harta warisan dan ahli waris.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan
kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991.
Dibawah ini secara ringkas dapat dikemukakan
table hukum waris Islam menurut Kompilasi Hukum Islam.
C. Ketentuan Mawaris dalam Islam
1.
Ahli Waris
Jumlah ahli waris yang berhak menerima hara
warisa dari seseorang yang meninggal dunia ada 25 orang, yaitu 15 orang dari
ahli waris pihak laki-laki yang biasa disebut ahli waris ashabah (yang
bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zâwil furûdh) dan 10 orang dari ahli waris pihak perempuan
yang biasa disebut ahli waris zâwil furûdh (yang bagiannya telah ditentukan)
2.
Syarat-syarat Mendapatkan warisan
a. Tidak adanya salah satu
penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan.
b. Kematian orang yang mewarisi, walaupun kematian
tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang
yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia.
c. Ahli waris hidup pada saat
orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita
mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi
tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena
kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi.
3. Sebab-sebab menerima harta warisan :
a. Nasab (keturunan), yakni
kerabat yaitu ahli waris yang terdiri dari bapak dari orang yang diwarisi atau
anak-anaknya beserta jalur kesampingnya saudara-saudara beserta anak-anak
mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta anak-anak mereka.
b. Pernikahan, yaitu akad yang
sah yang menghalalkan berhubungan suami isteri, walaupun suaminya belum
menggaulinya serta belum berduaan dengannya.
c. Wala’, yaitu seseorang yang
memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan
meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi
oleh yang memerdekakannya itu.
4. Sebab-sebab tidak mendapatkan harta warisan :
a. Kekafiran.
Kerabat yang muslim tidak dapar mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang yang
kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim
لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ ، وَلاَ
الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
“ Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir
tidak mewarisi orang muslim “ (H.R Bukhari)
b. Pembunuhan.
Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak menerima
harta waris dari yang dibunuhnya. Berdasarkan hadits Nabi yang artinya “
“ Pembunuh
tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya
“ (H.R Ibnu Abdil Bar)
c. Perbudakan.
Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh
ataupun sebagian. Namun sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya
sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang
dimilikinya. Berdasarkan pada hadits : “ Ia (seorang) budak yang merdeka
sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang
dimilikinya “.
d. Perzinaan.
Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan
mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi dari ibunya.
عَنْ عَائِشَةَ - رضى
الله عنها - قَالَتِ اخْتَصَمَ سَعْدٌ وَابْنُ زَمْعَةَ فَقَالَ النَّبِىُّ - صلى الله
عليه وسلم - « هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ ، الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ،
وَاحْتَجِبِى مِنْهُ يَا سَوْدَةُ زَادَ لَنَا قُتَيْبَةُ عَنِ اللَّيْثِ «
وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“
dari ‘Aisyah r.a mengatakan, Sa’id dan Ibnu Zam’ah bersengketa, lantas Nabi
Saw bersabda : “ Anak laki-laki itu milikmu hai Abd bin Zam’ah, karena anak itu
milik pemilik kasur, dan berhijablah engkau darinya ya Saudah! “ Sedang
Qutaibah menambah redaksi kepada kami dari Al-Laits ; “ dan bagi pezina adalah
batu” (H.R Bukhari)
e. Li’an. Anak suami istri yang melakuakn li’an
tidak dapat mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya.
Hal ini diqiyaskan dengan anak dari
hasil perzinaan.
5.
Ketentuan Pembagian Harta Warisan
Ada beberapa hal yang harus ditunaikan atau dibayarkan
sebelum pembagian harta warisan, yaitu :
a.
Biaya pengurusan jenazah
b.
Wasiat orang yang meninggal
c.
Hutang orang yang meninggal
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ
ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ
لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ
لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ
دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ
نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S An-Nisa [4] : 11)
Ahli waris dalam pembagian harta warisan
terbagi menjadi dua macam :
1). Ahli waris zâwil furudh ( yang bagiannya telah ditentukan )
2). Ahli waris ashabah ( yang bagiannya
berupa sisa setelah diambil oleh zâwil furudh)
a.
Ahli waris zâwil furudh
Ahli waris yang memperoleh kadar pembagian
harta warisan telah diatur oleh Allah Swt dalam Q.S An-Nisa [4] dengan
pembagian terdiri dari enam (6) kelompok, penjelasan sebagaimana di bawah ini
1) Mendapat ½
a) Suami, jika
istri yang meningeal tidak ada anak laki-laki, cucu perempuan/laki-laki dari
anak laki-laki
b) Anak perempuan
(tunggal), jika tidak ada saudara laki-laki atau saudar perempuan
c) Cucu perempuan,
jika sendirian, tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki
d) Saudara
perempuan sekandung, jika sendirian ; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada
bapak,tidak ada anak atau tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki
e) Saudara
perempuan sebapak, jika sendirian ; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada
bapak,tidak ada anak atau tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki
2) Mendapat ¼
a) Suami, jika
istri yang meninggal sudah memiliki anak laki-laki atau cucu
laki-laki/perempuan dari anak laki-laki
b) Istri , jika
suami yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu
laki-laki/perempuan dari anak laki-laki
3) Mendapat 1/8
Hanya
istri yang berhak menerima 1/8, jika suami yang meninggal memiliki anak
laki-laki atau cucu laki-laki/perempuan dari anak laki-laki
4) Mendapat 2/3
a) Dua anak
perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki
b) Dua cucu
perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki atau perempuan
sekandung.
c) Dua saudara
perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sebapak atau
tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak
d) Dua saudara
perempuan sebapa atau lebih, jika tidak ada saudar perempuan sekandung, atau
tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak.
5) Mendapat 1/3
a) Ibu, jika yang meninggal dunia tidak memiliki anak laki-laki,
cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki
b) Dua saudara seibu atau lebih, baik laki-laki atau perempuan,
jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu
laki-laki/perempuan dari anak laki-laki
c) Kakek, jika bersama dua saudara kandung laki-laki,atau empat
saudara kandung perempuan, atau seorang saudara kandung laki-laki dan dua
saudara kandung perempuan.
6)
Mendapat 1/6
a)
Ibu, jika yang meninggal
dunia memiliki anak laki-laki aau cucu laki-laki, saudara laki-laki/perempuan
lebih dari dua yang sekandung/sebapak/seibu
b)
Nenek, jika yang meninggal
tidak memiliki ibu dan hanya ia yang mewarisinya.
c)
Bapak secara mutlak
mendapat 1/6, baik yang meninggal punya anak atau tidak
d)
Kakek, jika tidak ada bapak
e)
Saudara seibu, baik
laki-laki atau perempuan, jika yang meningga tidak memiliki bapak, kakek, anak
laki-laki
f)
Cucu perempuan dari anak
laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan tunggal, tidak ada saudara
laki-laki, tidak ada anak laki-laki paman dari bapak
g)
Saudara perempuan sebapak,
jika ada satu perempuan sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak,
tidak ada ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki.
b.
Ahli waris ashabah
Ahli waris ashabah adalah
perolehan bagian harta warisan yang tidak ditetapkan bagiannya dalam furûd yang enam ( ½, ¼,
1/3, 2/3, 1/6, 1/8), tetapi mengambil sisa warisan setelah ashâbul furûd mengambil bagiannya. Ahli
waris ashabah bisa mendapatkan seluruh harta warisan jika ia sendirian, atau
mendapat sisa warisan jika ada ahli waris lainnya, atau tidak mendapatkan
apa-apa jika hartwa warisan tidak tersisa.
أَلْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا ، فَمَا بَقِىَ
فَهْوَ لأَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
“ Berikanlah bagian fara’idh (warisan yang telah ditetapkan)
kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling
dekat (nasabnya). “ (H.R Bukhari)
• Ahli waris ashabah mengambil seluruh harta warisan, jika ia sendiri atau tidak ada ahli waris lain
Seseorang wafat -> Meninggalkan seorang anak laki-laki
Seorang anak laki-laki -> Memperoleh seluruh harta warisan
• Ahli waris ashabah mengambil sisa warisan setelah ahli waris furud
Seorang wafat -> Meninggalkan istri, anak perempuan, ibu dan paman
Istri -> Memperoleh 1/8, karena ada anak
Anak perempuan -> Memperoleh ½, karena tunggal
Ibu -> Memperoleh 1/6, karena ada anak dari yang wafat
Paman - > Memperolah sisanya secara ‘asabah
• Ahli waris ashabah tidak mendapatkan apa-apa, karena tidak ada sisa harta warisan
Seorang wafat -> Meninggalkan dua saudara kandung perempuan, dua saudara perempuan seibu dan anak saudara (keponakan)
Dua saudara kandung perempuan -> Memperoleh 2/3, karena dua atau lebih
Dua saudara perempuan seibu -> Memperoleh 2/3. Karena dua atau lebih
Anak saudara (keponakan) -> Tidak mendapatkan apa-apa
Ahli waris ‘asabah terbagi menjadi dua yaitu :
1. ‘Asabah binnasab (hubungan nasab / keturunan), terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:
a) ‘Asabah bi an-nafsi, yaitu semua ahli waris laki-laki (kecuali suami, saudara laki-laki seibu dan mu’tiq yang memerdekakan budak)
Mereke adalah :
1) Anak laki-laki 2) Anak dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah 3) Ayah
4) Kakek ke atas 5) Saudara laki-laki sekandung 6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak saudara laki-laki sekandung terus ke bawah 8) Anak saudara laki-laki seayah 9) Paman sekandung
10) Paman seayah 11) Anak laki-laki paman sekandung dan terus ke bawah 12) Anak laki-laki paman seayah dan terus ke bawah
Untuk lebih mamahami derajat kekuatan hak waris ‘asabah bi an-nafsi, maka kedua belas ahli waris di atas dapat dikelompokan menjadi 4 arah :
1) Arah anak, mencakup seluruh anak laki-laki keturunan anak laki-laki, muali cucu, cicit dan seterusnya
2) Arah bapak, mencakup ayah, kakek dan seterusnya ke atas dari pihak laki-laki
3) Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, termasuk keturunan mereka yang laki-laki
4) Arah paman, mencakup paman kandung dan paman seayah, termasuk keturunan mereka
b) ‘Asabah bil ghair
‘Asabah bil ghair ada empat (4), semua dari kelompok wanita. Dinamakan ‘asabah bil ghair karena hak ‘asabah keempat wanita itu bukanlah kareka kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, tetapi karena adanya ‘asabah lain (‘asabah bi an-nafsi). Adapun ahli waris ‘asabah bil ghair adalah :
1) Anak perempuan bisa manjadi ‘asabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya
2) Cucu perempuan keturunan anak laki-laki bisa menjadi ‘asabah bila bersama dengan saudara laki-lakinya
3) Saudara kandung perempuan akan menjadi ‘asabah bila bersama dengan saudara kandung laki-laki
4) Saudara perempuan seayah akan menjadi ‘asabah bisa bersama saudara laki-laki
Dalam kondisi seperti ini maka bagian laki-laki dua kali lipat dari bagian perempuan. Mereka mendapatkan bagian siswa harta warisan yang telah dibagi, jika harta telah habis terbagi, maka gugurlah hak waris bagi mereka.
c) ‘Asabah ma’al ghair
Yang termasuk ‘asabah ma’al ghair ada dua, yaitu :
1) Saudara perempuan sekandung satu orang atau lebih berada bersama dengan anak perempuan satu atau lebih, atau bersama putri dari anak laki satu atau lebih, atau bersama dengan keduanya.
2) Saudara perempuan seayah (satu atau lebih) bersama dengan anak perempuan (1 atau lebih), atau bersama putri dari anak laki-laki (1 atau lebih), atau bersama dengan keduanya.
2. ‘Asabah bissabab (karena sebab)
Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah orang-rang yang membebaskan budak, baik laki atau perempuan.
Dari penjelasan tentang pembagian harta warisan di atas, jika semua ahli waris itu ada semua atau berkumpul, maka ada tiga kondisi yang harus diperhatikan :
a) Jika semua ahli waris laki-laki berkumpul, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya 3, yaitu
1) Ayah (1/6)
2) Anak laki-laki (‘asabah)
3) Suami (1/4)
b) Jika semua ahli waris perempuan berkumpul, maka yang berhak mendaparkan harta warisan ada 5, yaitu :
1) Istri (1/8)
2) Ibu (1/6)
3) Anak perempuan (1/2 jika tunggal)
4) Cucu perempuan dari anak laki-laki (1/6)
5) Saudara perempuan sekandung (‘asabah)
c) Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan berkumpul / ada semua, maka yang berhak mendaparkan warisan ada 5 orang :
1) Ibu
2) Bapak
3) Anak laki-laki
4) Anak perempuan
5) Suami / istri
D. Mempraktikan Pelaksanaan Pembagian Waris dalam Islam
Di bawah ini contoh-contoh kasus dan pembagian warisan berdasarkan syari’at islam.
1. Pak Rendi meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 200.000.000,00. Untuk biaya pengurusan jenazah menghabiskan Rp. 5.000.000,00. Kamudia memiliki hutang Rp. 15.000.000,00. Ahli warisnya terdiri atas istri, ibu, 2 anak laki-laki. Hitung bagian masing-masing !
Hasil nya adalah :
- Istri : 1/8 (karena ada anak)
- Ibu : 1/6 (karena ada anak)
- 2 anak laki-laki : ‘Asabah
KPK (Kelipatan Persekutuan terkecil) dari bilangan penyebut 8 dan 6 adalah 24.
Harta waris : 200.000.000 – (5.000.000 + 15.000.0000) = 180.000.000
Maka pembagiannya adalah :
- Istri : 1/8 x 24 = 3/24 x 180.000.000,00 = 22.500.000,00
- Ibu : 1/6 x 24 = 4/24 x 180.000.000,00 = 30.000.000,00
-------------------- +
52.500.000,00
Sisa harta warisan : 180.000.000,00 – 52.500.000,00 = 127.500.000,00
- 2 anak laki : 127.500.000,00.
Jadi masing-masing anak laki-laki : 127.500.000,00 / 2 = 63.750.000,00
22.500.000 + 30.000.000 + 127.500.000 = 180.000.000
2. Ibu Mirna meninggal. Meninggalkan harta Rp. 27.000.000,00. Ibu Mirna pernah berwasiat Rp. 1.000.000,00. Biaya pengurusan jenazah Rp. 2.000.000,00. Ahli warisnya terdiri dari suami, bapak, 1 anak laki, 2 anak perempuan. Hitung bagian masing-masing :
Hasilnya adalah
- suami : ¼ ( karena ada anak)
- bapak : 1/6
- 1 anak laki : ‘ Asabah
- 2 anak perempuan : ‘Asabah (karena ada saudara laki-laki)
KPK = 12
Harta warisan : 27.000.000,00 – (1.000.000,00 + 2.000.000,00) = 24.000.000,00
Maka pembagiannya adalah :
- Suami : ¼ x 12 = 3/12 x 24.000.000,00 = 6.000.000,00
- Bapak : 1/6 x 12 = 2/12 x 24.000.000,00 = 4.000.000,00
----------------- +
10.000.000,00
Sisa harta warisan : 24.000.000,00 – 10.000.000,00 = 14.000.000,00
- 1 anak laki-laki (x 2) = 2
- 2 anak perempuan (x 1) = 2
4 bagian
14.000.000,00 / 4 = 3.500.000,00
Jadi
- 1 anak laki : 3.500.00,00 x 2 = 7.000.000,00
- 2 anak perempuan : 3.500.000 x 2 = 7.000.000,00 / 2 = 3.500.000,00
6.000.000 + 4.000.000 + 7.000.000 + 7.000.000 = 24.000.000
2 contoh kasus di atas merupakan perhitungan harta waris yang habis setelah dihitung dan dibagikan kepada ahli waris. Lalu bagaimana jika setelah perhitungan dan dibagikan, ada sisa dari harta waris atau jadi minus ? Jawabannya ada di 2 contoh berikut :
1. Perhitungan dengan menggunakan ‘aul.
Contoh kasus : Ibu Munaroh meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 42.000.000,00. Ahli warisnya terdiri atas suami, dan 2 saudara perempuan sekandung. Pembagian hasilnya adalah sebagai berikut :
- suami : ½ (karena tidak ada anak)
- 2 saudara perempuan : 2/3
KPK : 6
Sebelum di ‘aul kan :
- Suami : ½ x 6 = 3/6 x 42.000.000 = 21.000.000
- 2 sdr pr : 2/3 x 6 = 4/6 x 42.000.000 = 28.000.000
---------------- +
49.000.000
Hasil perhitungan menjadi minus : 42.000.000 – 49.000.000 = -7.000.000
Hasilnya jadi minus karena pembilang lebih besar dari penyebut ( 3/6 + 4/6 = 7/6 ) .
Perlu di ‘aul kan, caranya adalah dengan menyamakan penyebut dengan pembilangnya. (‘aulnya : 1) sehingga menjadi 7/7. Maka pembagiannya sebagai berikut :
- Suami : 3/7 x 42.000.000 = 18.000.000
- 2 sdr pr : 4/7 x 42.000.000 = 24.000.000
--------------- +
42.000.000
Hasil pembagiannya sama dengan jumlah harta warisan yaitu 42.000.000.
2. Perhitungan dengan rad.
Contoh kasus : Pak Surya meninggal dunia, meninggalkan harta sebesar Rp. 120.000.000. ahli waris nya terdiri dari ibu dan seorang anak perempuan. Pembagian hasil nya sebagai berikut :
- Ibu : 1/6
- satu anak perempuan : ½
KPK : 6
Sebelum di rad kan :
- Ibu : 1/6 x 6 = 1/6 x 120.000.000 = 20.000.000
- 1 anak pr : ½ x 6 = 3/6 x 120.000.000 = 60.000.000
--------------- +
80.000.000
Hasil perhitungannya lebih sedikit dari harta waris, sehingg ada sisa sejumlah 120.000.000 – 80.000.000 = 40.000.000. ada sisa karena pembilang lebih sedikit dari penyebut( 1/6 + 3/6 = 4/6)
Perlu di rad kan, caranya adalah menyamakan peyebut dengan pembilangnya ( di rad 2 ), menjadi 4/4. Maka pembagiannya sebagai berikut :
- Ibu : ¼ x 120.000.000 = 30.000.000
- 1 anak pr : 3/4 x 120.000.000 = 90.000.000
-------------- +
120.000.000,-
Hasilnya sama dengan jumlah harta warisan : 120.000.000
E. Manfaat Hukum Waris dalam Islam
1. Terciptanya ketenteraman hidup dan suasana kekeluargaan yang harmonis.
2. Menciptakan keadilan dan mencegah konflik pertikaian.
3. Peduli kepada orang lain sebagai cerminan pelaksanaan ketentuan waris dalam islam. Melaksanakan sepuluh asas dalam hukum waris islam, yaitu : asas ketulusan (Q.S Ali ‘Imran [3] : 85), asas ta’abbudi/penghambaan diri (Q.S An-Nisa [4] : 13-14), asas huququl maliyah / hak-hak kebendaan (KHI pasal 175), asas huququl thabi’iyah / hak-hak dasar, asas ijbari/keharusan, kewajiban, asas bilateral (Q.S An-Nisa [4] : 7 dan Q.S An-Nisa [4] : 11-12), (Q.S An-Nisa [4] : 176). Asas individual (Q.S An-Nisa [4] : 8 dan 33), asas keadilan yang berimbang (Q.S Al-Baqarah [2] : 233 dan Q.S Ath-Thalaq [65] : 7, asas kematian dan asas mambagi habis harta warisan (KHI pasal 192 dan 193) akan menumbuhkan kepedulian kepada orang lain sebagai cerminan pelaksanaan ketentuan waris dalam islam





Tidak ada komentar:
Posting Komentar